Saturday, November 30, 2013

BAB 7
ARAHAT

Syiar 90 :
Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya, yang telah terbebas dari segala hal, yang telah menghancukan semua ikatan, maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.

Syair 91 :
Orang yang telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga, tidak lagi melekat pada tempat kediaman. Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam, dmeikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.

Syair 92 :
Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi, yang sederhana dalam makanan, yang telah mencapai ‘Kebebasan Mutlak’, maka jejak mereka tidak dapat dilacak bagaikan burung-burung di angkasa.

Syair 93 :
Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin, yang tidak lagi terikat pada makanan, yang telah menyadari ‘Kebebasan Mutlak’, maka jejaknya tidak dapat dilacak, bagaikan burung-burung di angkasa.

Syair 94 :
Ia yang telah menaklukkan dirinay bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya, yang telah bebas dari kesombongan dan kekotoran batin, maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.

Syair 95 :
Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indahkhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.

Syair 96 :
Orang suci yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.

Syair 97 :
Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nirwana), yang telah memutuskan smeua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mangakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalh orang yang paling mulia.
Syair 98 :
Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, dimanapun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.

Syair  99:
Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu kegembiraan berdiam, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.

Ceritera
Syair 96 :
Kisah seorang sramanera dari Kosambi

Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi sramanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah objek meditas. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada objek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat karma baiknya di waktu lampau, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambu kepalanya.
Bebarapa waktu kemudian, sthavira Tissa, disertai sramanera muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Hyang Buddha. Di tengah perjalnan mereka bermalam di sebuah viahar desa. Sthavira Tissa tidur, tetapi srmanera muda duduk sepanjang malam di samping kaus sthavira Tissa. Pada waktu fajar menyingsing, sthavira Tissa berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan srmanera muda. Ia membangunkan sramanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata sramanera terpukul oleh tangkat kipas dan matanya terluka.
Sramanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksankan atugasnya mempersipakan air pencuci muka dan mulut sthavira Tissa, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika sramanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada sthavira Tissa, sthavira Tissa mencelanya dan berkata bahwa ia seharuanya mempersembahkan dengan dua tangan.
Kemudian setelah sthavira Tissa mengetahui bagaimana sramanera itu terluka matanya, seketika itu pula I amenyadari, bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada sramanera.
Tetapi sramanera berkata bahwa itu bukan kesalahan sthavira Tissa, juga bukan kesalahannya sendiri tapi merupakan buah akibat perubatan (karma) lampau, sehingga sthavira Tissa tidak lagi terlalu sedih. Namun sthavira tetapi tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalhaan yang tak dikehendakinya.
Kemudian mereka meneruskan perjalan ke Savatthi dan sampai di vihara Jetavana dimana Hyang Buddha menetap, sthavira Tissa berkata kepada Hyang Buddha bahwa sramanera muda yang dating bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.
Hyang Buddha lalu menjawab, “Anakku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. Ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna.”
Kemudian Hyagn Buddha membabarkan syair 96 berikut :
“Orang suci, yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai  dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.”

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.