Tuesday, March 8, 2016

BAB 13

DUNIA

Syair 167 :
Janganlah mengejar sesuatu yang rendah, janganlah hidup dengan kelengahan. janganlah menganut padangan-pandangan salah, dan janganlah menjadi pendukung dunia.

Syair 168 & 169 :
Bangun! Jangan lengah ! Tempuhlah kehidupan benar. Barang siap menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia seleanjutnya.
Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dharma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barang siapa hidup sesuai dengan Dharma, maka aia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.

Syair 170 :
Barang siapa dapat memandang dunia ini seperti ia melihat busa atau seperti ia melihat fatamorgana, maka Raja Kematian tidak dapat menemukan dirinya.

Syair 171 :
Marilah pandang dunia ini bagaikan kereta kerajaan yang penuh hiasan , yang membuat orang bodoh terlelap di dalamnya. Tetapi bagi orang yang mengetahui maka tak ada lagi ikatan dalam dirinya.

Syair 172 :
Barang siapa yang sebelumnya pernah malas, tetap kemudian tidak malas lagi, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

Syair 173 : 
Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan.

Syair 174 :
 Dunia ini terseblubung kegelapan, dan hanya sedikit orang yang dapat melihat dengan jelas. Bagaikan burung-burung kena jerat, hanya sedikit yang dapat melepaskan diri; demikian pula hanya sedikit orang yang dapat pergi ke alam surga.

Syair 175 : 
Kawanan angsa terbang menuju matahari, orang-orang yang memiliki kekuatan gaib terbang di udara. Orang bijaksana berjalan menuju kesucian setelah menaklukkan Mara beserta bala tentaranya.

Ceritera :
Syair 171 :
Kisah Pangeran Abhaya

Suatu waktu, Pangeran Abhaya pulang kembali dengan kemenangan setelah berhasil memberantas sebuah pemberontakan di perbatasan negara. Raja Bimbisara sangat senang kepadanya sehungga selama tujuh hari, Abhaya yang telah memberikan kejayaan dan kemuliaan negara mendapat sambutan dan hiburan, bersama seorang gadis penari untuk menghiburnya. Pada hari terakhir, ketika si penari sedang menghibur pangeran dan teman-temannya di taman, penari itu terkena stroke yang hebat, dia terjatuh dan meninggal dunia seketika. Pangeran terkejut dan amat sangat sedih. Dengan sedih, Pangeran pergi menemui Hyang Buddha untuk mencari pelipur lara. Kepadanya, Hyang Buddha berkata,Ó Pangeran, air mata yang engkau kucurkan melalui kelahiran yang berulang-ulang tak terhitung banyaknya. Kumpulan-kumpulan dunia ini (skhanda) adalah tempat di mana orang bodoh terlelap di dalamnya.

Kemudia Hyang Buddha membabarkan syair 171  berikut :
'Marilah, pandang dunia ini yang seperti kereta kerajaan yang penuh hiasan, yang membuat orang bodoh terlelah di dalamnya. Tetaqpi bagi orang yang mengetahui, maka tak ada lagi ikatan dalam dirinya.

'Syair 176 :
Orang yang melanggar salah satu Dharma )sila keempat, yang selalu berkata bohong), yang tidak mempedulikan dunia mendatang, maka tak ada kejahatan yang tidak dilakukannya.

Syair 177 :
Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa. ORang bodoh tidak memuji kemurahan hati. Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya.

Syair 178 :
Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seleuruh dunia, yakni hasil kemuliaan dan seoran gsuci yang telah memenangkan arus (Sotapati phala).

Monday, December 2, 2013

BAB 12
DIRI SENDIRI

Syair 157 :
Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga dirinya dengan baik. Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam kehidupannya.

Syair 158 :
Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri sendiri dalam hal-hal yang patut, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.

Syair 159 :
Sebagaimana ia mengajari orangl ain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri.

Syair 160 :
Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sunguh amat sukar dicari.

Syair 161 :
Kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri, timbul dari diri sendiri serta disebabkan oelh diri sendiri, akan menghancurkan orang bodoh, bagaikan intan memecah permata yang keras.

Syair 162 :
Orang yang berkelakuan buruk adalah seperti tanaman menjalar maluva yang melilit pohon sala. Ia akan terjerumus sendiri, seperti apa yang diharapkan musuh terhadap dirinya,

Syair 163 :
Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri.

Syair 164 :
KArena pandangan yang salah orang bodoh menghina ajaran orang mulia, orang suci dan orang baji, Ia akan menerima akibatnya yang buruk, seperti rumput kastha yang berbuah hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.

Syair 165 :
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

Syair 166 :
Walaupun bisa menolong orang lain, seseorang hendaknya tidak melalaikan kesejahteraan sendiri. Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, hendaknya ia tetap teguh melaksanakan tugas kewajibannya.

Ceritera

Syair 166 :
Kisah Sthavira Attadattha

Ketika Hyang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mencapai parinirwana dalam waktu 4 bulan lagi, banyak bhiksu putthujjana (bhiksu-bhiksu yang belum mencapai tingkat kesucian) merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, lalu mereka berusaha dekat dengan Hyang Buddha.
Attadattha, meskipun tidak pergi ke hadapan Hyang Buddha, bertekad untuk mencapat tingkat ksecuia arahat selama Hyang Buddha masih hidup, berusaha keras dalam latihan meditas. Bhiksu-bhiksu lain tidak memahaminya, membawanya ke hadapan Hyang Buddha dan berkat, 'Bhante, bhisu ini tidak terlihat mencintai dan memuja-Mu, seperti yang kami lakukan, ia hanya menyendiri. Sthavira Attadattha kemudia menjelaskan kepada merka bahwa ia sedang berusaha untuk mencapai tingkat kesucian arahat sebelum Hyang Buddha mencapai parinirwana, dan itulah alasannya mengapa ia tidak berada dekat Hyang Buddha.

Hyang Buddha kemudian berkata kepada para bhiksu. Para bhiksu, barang saiapa yang mencintai dan menghormati-Ku seharusnya berkelakuan seperti Attadattha. Kalian tidak menghormat saya hanya dengan memberikan bungabunga, wangi-angian, dupa atau datang menjenguk-Ku. Kalian memberi penghormatan kepada saya bila mempraktekkan Dharma yang telah Kuajarkan kepada kalian, seperti Lokuttara Dharma, yaitu meditasi pandangan terang (vipassana-bhavana).

Kemudian Hyang Buddha membabarkan syair 166 berikut :
"Dengan menolong orang lain, lalu seseorang hendaknya tidak melalaiokan kesejahteraan sendiri. Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya."

Sthavira Attadattha mencapai tingkat kesucian arahat seetlah khotbah Dharma itu berakhir,




BAB 11
USIA TUA

Syair 146 :
Mengapa tertawa, mengapa bergembira kalau dunia ini selalu terbakar? Dalam kegelapan, tidakkah engkau inin mencari terang?

Syair 147 :
Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka, terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan. Ia tidak kekal serta tidak tetap keadaannya.

Syair 148 :
Tubuh ini benar-benar rapuh, sarangp enyakit dan mudah membusuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya, kehidupan ini akan berkahir dengan kematian.

Syair 149 :
Bagaikan labu yang dibuang pada musim rontokj, demikian pula halnya dengan tulang-tulang yang memutih ini. Kesenangan apakah yang didapat dari memandangnya?

Syair 150 :
Kota (tubuh) ini terbuat dari ulang belulang yang dibungkus oleh daging dan darah. Disinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan dan iri hati.

Syair 151 :
Kreta kerajaan yang idnah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh ini akan mejadi tua. Tetapi 'Ajaran' (Dharma) orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan.

Syair 152 :
Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang.

Syair 153 & 154 :
Dengan melalui banyak kelahiran aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari , namun tidak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang.

O, pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai 'Keadaan Tak Berkondisi' (Nirwana). Pencapaian ini merupakan akhir dari nafsu keinginan.

Syair 155 & 156 :
Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulakn bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti bangau tua yan berdiam di kolam yang tidak ada ikannya.

Mereka yan tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbarign seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya.

Ceritera 

Syair 155 & 156 :
Kiash Putra Mahadhana

Putra Mahadhana tidak belajar ketika ia masih berusia muda, ketika menjelang dewasa ia menikah dengan putri seorang kaya. Seperti dia keadaannya, siterinya juga tidak berpendidikan. Ketika orangtua kedua pihak meninggaldunia, mereka mewarisi 80 nilai mata uang dari masing-masing pihak dan menjadi sangat kaya. Tetapi mereka berdua bodoh, hanya tahu menghabiskan uang dan tidak tahu bagaimana menyimpannya atau melipatgandakannya. Mereka hanya makan, minumdan bersenang-senang menghabiskan uang mereka dengan sia-suia. Ketika mereka telah menghabiskan smeua uangnya, mereka menjual ladang mereka dan kebun serta akhirnya rumah mereka. Kemudian mereka menjadi sangat miskin dan tidak berguna. Karena tidak tahu mencari nafkah, mereka harus mengemis.

Suatu hari, Hyang Buddha melihat anak orang kaya yang bersandar di dinding vihara, mengambil sisa makanan yang diberikan oleh para sramanera. Melihat itu Hyang Budha tersenyum.
Yang Ariya Ananda bertanya kepada Hyang Budha mengapa beliau tersenyum.

Hyang Buddha menjawa, "Ananda, lihatlah kepada putra orang kaya ini, ia hidup dengan tidak berguna dan mempunyai kehidupan yang tidak bertujuan. Apabila ia belajar menjaga kekayaannya pada tahap eprtama kehidupannya, ia akan menjadi orang yang teratas, atau apabila ia menjadi seorang bhiksu, akan menjadi seorang arahat dan isterinya akan menjadi seorang anagami. Apabila ia belajar menjad kekayaannya pada tahap kedua kehidupannya, ia akan menjadi orang kaya tingkat kedua, apabila ia menjadi seorang bhiksu akan menjadi seorang anagmai dan isterinya menjadi seorang sakadagami. Apabila ia belajar menjaga kekayaannya pada taha ketiga kehidupannya, ia akan menjadi orang kaya tingkat ketiga, atau apabila ia menjadi seorang bhiksu, akan menjadi seorang sakadagami dan isterinya akan menjadi seorang sotapana. Karena ia tidak berbuat apa-apa dalam tiga tahap kehidupannya ia kehilangan seluruh kekayaan duniawinya dia jua kehilangan kesempatan mencapai 'Jalan dan Hasil Kesucian' (Magaphala).

Kemudian Hyang Buddha membabarkan syair 155 & 156 berikut :
"Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulan bekal 9kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya.
Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya."



BAB 10
HUKUMAN

Syair 129 :
Semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Syair 130 :
Semua orang takut akan hukuman, semua orang mencintai kehidupan. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Syair 131 & 132 :
Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan menganiaya mahluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan.

Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan tidak menganiaya mahluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia akan memperoleh kebahagiaan.

Syair 133 & 134 :
Jangan berbicara kasar kepada siapapun, karena mereka yang mendapat perlakuan demikian akan membalas dengan cara yang sama. sungguh menyakitkan ucapan kasar itu, yang pada gilirannya akan melukaimi.
Apabila engkau berdiam diri bagaikan sebuah gong pecah, berarti engkau telah mencapai nirwana, sebab keinginan membalas dendam tak terdapat lagi dalam dirimu.

Syair 135 :
Bagaikan seorang penggembala menghalau sapi-aspinya dengan tongkat ke padang rumput, begitu juga umur tua dan kematian menghalau kehidupan setiap makluk.

Syair 136 :
Apabila orang bodoh melakukan kejahatan, ia tak mengerti akan akibat perbuatannya. Orang bodoh akan tersiksa oleh perbuatannya sendiri, seperti orang yang terbakar oleh api.

Syair 137, 138, 139, dan 140 :
Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut dihukum dan tidak bersalah, akan segera memperoleh salah satu di antara speuluh keadaan berikut :

Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, jika berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan.

Atau ditindak oleh raja, atau mendapat utduhan yang berat, atau kehilangnan sanak saudar, atau harta kekayaannya habis.

Atau rumahnya musnah terbakar; dan setelah tubuhnya hancur, orang bodoh itu akan terlahir kembali di alam neraka.

Syair 141 :
Buakn dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit, seseorang yang bleum bebas dari keragu-raguan dapat mensucikan diri.

Syair 142 :
Walau digoda dengan cara bagaimanapun, jika seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti mahluk lain; sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang sramana, seorang bhiksu.

Syair 143 & 144 :
Di dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat, yang senantiasa waspada, bagikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.

Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik, walaupun sekali saja merasakan cambukan segera menjadi bersemangat dan berlari cepat; demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, yang memiliki sila semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesasdaran, akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.

Syair 145 :
Pembuat saluran air mengatur jalannya air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bajik mengendalikan dirinya sendiri.





Saturday, November 30, 2013

BAB 9
KEJAHATAN

Syair 116 :
Bergegaslah berbuat kebajikan dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan; barnag siapa lamban berbuat bajik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.

Syair 117 :
 Apabila sesorang berbuat jahat, hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu, dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu; seungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.

Syair 118 :
Apabila seseorang berbuat bajik, hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu; sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik.

Syair 119 & 120 :
Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan baiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.

Syair 121 :
Jangan meremahkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata: ‘Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat’. Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.

Syair 122 :
Jangan meremahkan kebajikan walaupun kecil, dengan berkata: ‘Perbuatan baik tidak akan membawa akibat’. Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana  sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.

Syair 123 :
Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal membawa banyak harta menghindari jalan yang berbahaya, demikian pula orang yang mencintai hidup hendaknya menghindair racun dan hal-hal yang jahat.


Syair 124 :
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.

Syair 125 :
Barang siapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah, maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, bagaikan debu yang ditebarkan melawan arah angin..

Syair 126 :
Sebagian orang terlahir melalui kandungan, pelaku kejahatan terlahir di alam neraka, orang yang berkalkukan baik pergi ke surga; dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nirwana.

Syair 127 :
 Tidak dilangit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.

Syair 128 :
Tidak dilangit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari kematian.

Ceritera
Syair 125
Kisah Koka si pemburu

Suatu pagi saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing buruannya, ia melihat seorang bhiksu memasuki kota untuk berpindapatta. Pemburu mengira bahwa hal itu merupakan pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri. “ Sejak saya melihat pemandangan ini, saya mengira saya tidak akan mendapatkan hasil buruan apapun hari ini,” dan ia melanjutkan perjalnannya. Seperti dugaannya, ia tidak memperoleh apapun.
Pada perjanan pulang, ia melihat kembali bhiksu yang sama sedang berjaan pulang ke vihara setelah menrima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing buruannya kea rah bhksu terseubt. Dengan cepat bhiksu itu  memanjat sebatang phon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pembuur. Kemudian si pemburu pergi ke bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhiksu tersebut dengan ujung anak panahnya.
Bhiksu itu sangat kesakitan dantidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubah terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.
Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhiksu tesebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.
Bhiksu itu dari persembunyiannya di atas phon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhiksu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.
Bhiksu tersebut turun dari atas phon, dan menemukan bahwa si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhksu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?
Kemudian bhiksu itu menghadap Hyang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Hayng Buddha berkata, “Anakku, pastikan dan jangan lah ragu-ragu bahwa engkau tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral (sila) mu juga tidak tercemar oleh kematian itu. Lagi pula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan.

BAB 8
RIBUAN

Syair 100 :
Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Syair 101 :
Daripada seribu bait syair yang tak berguna, adalah lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat member kedamaian kepada pendengarnya.

Syair 102 & 103 :
Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat, adalah lebih baik satu kata Dharma yang dapat member kedamaian kepada pendengarnya.
Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Syair 104 & 105 :
Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukkan makhluk lain, orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri selalu dapat mengendalikan diri.
Tidak ada Dewa, Mara, Gandharwa, ataupun Brahmana yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Syair 106 :
Biarpun bulan demi bulan seseorang mempersembahkan seribu korban selama seratus tahun, namun lebih baik jika ia menghormati orang yang memiliki pengendalian diri, walaupun hanya sesaat saja.

Syair 107 :
Biarpun selama seratus tahun seseoarng menyalakan api pemujaan di hutan, namun sesungguhnya lebih baik jika ia, walaupun hanya sesaat saja, menghormati orang yang telah memiliki pengendalian diri.

Syair 108 :
Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus  tahun untuk memperoleh pahala dari perbuatannya itu semuanya tidak berharga sepermpat bagian pun daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus.

Syair 109 :
Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, kelak akan memperoleh empat hal, yaitu : umur panjang, kecantikan,  kebahagiaan dan kekuatan.

Syair 110 :
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki kelaukan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

Syair 111 :
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki tidak bijaksana  dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

Syair 112 :
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat,  maka sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang berjuang dengan penuh semangat.

Syair 113:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.
Syair 114 :
Walalupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’ (nirwana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat ‘ keadaan tanpa kematian.’

Syair 115 :
Walalupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dharma (Dharma muttamang)), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dharma.’

BAB 7
ARAHAT

Syiar 90 :
Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya, yang telah terbebas dari segala hal, yang telah menghancukan semua ikatan, maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.

Syair 91 :
Orang yang telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga, tidak lagi melekat pada tempat kediaman. Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam, dmeikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.

Syair 92 :
Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi, yang sederhana dalam makanan, yang telah mencapai ‘Kebebasan Mutlak’, maka jejak mereka tidak dapat dilacak bagaikan burung-burung di angkasa.

Syair 93 :
Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin, yang tidak lagi terikat pada makanan, yang telah menyadari ‘Kebebasan Mutlak’, maka jejaknya tidak dapat dilacak, bagaikan burung-burung di angkasa.

Syair 94 :
Ia yang telah menaklukkan dirinay bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya, yang telah bebas dari kesombongan dan kekotoran batin, maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.

Syair 95 :
Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indahkhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.

Syair 96 :
Orang suci yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.

Syair 97 :
Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nirwana), yang telah memutuskan smeua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mangakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalh orang yang paling mulia.
Syair 98 :
Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, dimanapun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.

Syair  99:
Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu kegembiraan berdiam, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.

Ceritera
Syair 96 :
Kisah seorang sramanera dari Kosambi

Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi sramanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah objek meditas. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada objek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat karma baiknya di waktu lampau, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambu kepalanya.
Bebarapa waktu kemudian, sthavira Tissa, disertai sramanera muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Hyang Buddha. Di tengah perjalnan mereka bermalam di sebuah viahar desa. Sthavira Tissa tidur, tetapi srmanera muda duduk sepanjang malam di samping kaus sthavira Tissa. Pada waktu fajar menyingsing, sthavira Tissa berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan srmanera muda. Ia membangunkan sramanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata sramanera terpukul oleh tangkat kipas dan matanya terluka.
Sramanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksankan atugasnya mempersipakan air pencuci muka dan mulut sthavira Tissa, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika sramanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada sthavira Tissa, sthavira Tissa mencelanya dan berkata bahwa ia seharuanya mempersembahkan dengan dua tangan.
Kemudian setelah sthavira Tissa mengetahui bagaimana sramanera itu terluka matanya, seketika itu pula I amenyadari, bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada sramanera.
Tetapi sramanera berkata bahwa itu bukan kesalahan sthavira Tissa, juga bukan kesalahannya sendiri tapi merupakan buah akibat perubatan (karma) lampau, sehingga sthavira Tissa tidak lagi terlalu sedih. Namun sthavira tetapi tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalhaan yang tak dikehendakinya.
Kemudian mereka meneruskan perjalan ke Savatthi dan sampai di vihara Jetavana dimana Hyang Buddha menetap, sthavira Tissa berkata kepada Hyang Buddha bahwa sramanera muda yang dating bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.
Hyang Buddha lalu menjawab, “Anakku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. Ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna.”
Kemudian Hyagn Buddha membabarkan syair 96 berikut :
“Orang suci, yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai  dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.”

Powered by Blogger.